TUGAS
KELOMPOK 2 PANCASILA
PANCASILA
DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA
Bagian
2
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
C. Pancasila Era Orde Lama
Terdapat
dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya
Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran”
Presiden/ Pemerintah untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan
Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara.
Sedangkan pihak lainnya menyetujui “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa
cadangan, artnya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai
Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan siding
konstituante (Anshari, 1981: 99).
- Pembubaran
Konstituante
- Undang-Undang
Dasar 1945 kembali berlaku
- Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Sosialisai terhadap paham
Pancasila yang konklusif menjadi Prelude penting bagi upaya selanjutnya;
Pancasila dijadikan “idiologi Negara” yang tampil hegemonik. Ikhtiar tersebut
tercapai ketika Ir. Soekarno member tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan
paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto politik “Penemuan Kembali
Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
Menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).Belakangan, materi pidato
tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan
ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali, 2009: 30). Manifesto politik
Republik Indonesia tersebut merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh D.N Aidit yang
disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September
1959 sebagai .haluan Negara (Ismaun, 1978:105).
Oleh karena itu, mereka yang
bersebrangan pahammemilih taktik “gerilya” didalam kekuasan Ir. Soekarno.
Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan agenda yang berbeda. Taktik
demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan politik. Tidak hanya PKI,
mereka yang anti komunisme pun sama (Ali, 2009: 33). Walaupun kepentingan
politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila
sebagai Justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki persatuan diantara beragam
golongan dan idiologi tersebut komunis, dibawah satu paying besar, bernama
Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), Sementara golongan antikomunis
mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni”
dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali,
2009:34).
Dengan adanya pertentangan
yang sangat kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu, maka Soekarno
pun di lengserkan sebagai Presiden Indonesia melalui siding MPRS.
D. Pancasila Era Orde Baru
Setelah
lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jendral Soeharto yang
memegang kendali terhadap negri ini.dengn berpindahnya kursi kepresidenan
tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir
Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak
mengalami ujian zaman dan makin bulat tekat kita mempertahankan Pancasila”.
Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan
sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah Negara
yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan
(setiardja, 1994: 5).
Jadi, Pancasila dijadikan
sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya
Pancasila digunakan sebagai dasar Negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto
mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa
Indonesia tidak loyo, bahan jika ad pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah
Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo
dan Endah (ed), 2010: 42).
Selanjutnya pada tahun 1968
Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang
menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar Negara, yaitu:
Satu : Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan
Lima : Keadilan social bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13
April 1968.
Pada tanggal 22 Maret 1978
ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor II/MPR/1978 tentang pedoman
penghayatan dan pengamalan pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu
pasalnya tepatnya pasal 4 menjelaskan,
“Pedoman Penghayatan
dan Pengalaman pancasila merupakan
penuntundan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara bagi setiap warga Negara Indonesia, setiap penyelenggaraan Negara
serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun
di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Adapun nilai dan norma-norma
yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan
tersebut meliputi 36 butir, yaitu:
- Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa
a. Percaya
dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
b. Hormat-menghormati
dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang
berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
c. Saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
d. Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
- Sila Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab
a. Mengakui
persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
b. Saling
mencintai sesama manusia
c. Mengembangkan
sikap tenggang rasa dan tepo seliro.
d. Tidak
semena-mena terhadap orang lain
e. Menjungjung
tinggi nilai kemanusiaan
f. Gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan
g. Berani
membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, Karena itu
dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
- Sila Persatuan
Indonesia
a. Menempatkan
persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas
kepentingan pribadi dan golongan.
b. Rela
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
c. Cinta
tanah air dan bangsa
d. Bangsa
sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia
e. Memajukan
pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
- Sila Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
a. Mengutamakan
kepentingan Negara dan masyarakat.
b. Tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
d. Musyawarah
untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
e. Dengan
itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan keputusan hasil
musyawarah.
f. Musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g. Keputusan
yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran
dan keadilan.
- Sila Keadilan
bagi seluruh rakyat Indonesia
a. Mengembangkan
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan
dan kegotong-royongan.
b. Bersikap
adil.
c. Menjaga
antara hak dan kewajiban.
d. Menghormati
hak-hak orang lain.
e. Suka
member pertolongan kepada orang lain.
f. Menjauhi
sikap pemerasan kepada orang lain.
g. Tidak
bersikap boros.
h. Tidak
bergaya hidup mewah.
i. Tidak
melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umun.
j. Suka
berkerja keras.
k. Menghargai
hasil karya orang lain.
l. Bersama-sama
mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan social.
Nilai-nilai
Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun 1994
disarikan/ dijabarkan kembali oleh BP-7 P4. Perbedaan yang dapat digambarkan
yaitu: sila Kesatu, Menjadi 7 (tujuh) butir; sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir;
sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; sila Kelima, menjadi 11 (sebelas)
butir.
Sumber
hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan dinegara Indonesia diatur
dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “Amanat
penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara
paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan
pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945,
untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu Negara hukum yang
konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945” (Ali,
2009: 37).
Ketika
itu, sebagian golongan islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan
menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah
tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di
Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD
1945, malahan diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana
pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski
dengan gaya militer. Tak seorang pun warga Negara keluar dari Pancasila
(Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya, pada bulan Agustus
1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap
Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui
posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010 43-44).
Dengan
semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia
pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin senter
mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter,
represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek
Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya
Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010:
45).
E. Pancasila Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya
sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana negara, dalam
kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan
tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbulah berbagai
gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat
sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang
politik, ekonomi, dan hukum (Kaelan, 2010:245).
Saat Orde Baru tumbang,
muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi
tunggal dan satu – satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi tahu
mana yang benar mana yang salah. Nilai – nilai itu selalu ditanam ke benak
masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50).
Dengan seolah – olah
“dikesampingkannya” pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak
nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya makin
terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan sosial, masyarakat
kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya teejadi konflik – konflik horisontal
dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahlan sendi – sendi persatuan
dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia . Dalam bidang budaya, kesadaran
masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, pada akhirnya
terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral
generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan – ketimpangan di
berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam
perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik
kebangsaan, seluruh aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominandi
atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suati aktivitas memperjuangkan
kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan
bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan
Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara normatif, tercantum
dalam ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan
bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu
Indonesia akan menghadapi Amandemen Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila
sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan,
“Sumber hukum dasar nasional
adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang – Undang
Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia,
dan batang tubuh Undang – Undang Dasar 1945”.
Semakin memundurnya
pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara membuat
khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004
Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor
integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian tampak
signifikan karena proses amandemen UUD
1945 saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan kembali Piagam Jakarta
(Ali, 2009. 51). Selain keadaan di atas, juga terjadi terorisme yang
mengatasnamakan agama. Tidak lama kemudian muncul segala Perda Syariah
disejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan melengkapi kegelisahan
publik selama revormasi yang mempertanyakan arah gerakan revormasi dan
demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah kalangan. Diskursus
tentang pancasila kembali menghangat dan meluas usai Simposium Peringatan Hari
Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali,
2009: 52). Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara
intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai
Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan
Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan telah
menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di
Universitas Gajah Mada, Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di
Universitas Pendidikan Pancasila, dan Kongres Pancasila di Universitas Udayana.
Lebih dari itu MPR-RI melakukan kegiatan sosialisasi nilai-nilai pancasila yang
dikenal dengan sebutan "Empat Pilar Kebangsaan", yang terdiri dari: Pancasila,
Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka
Tunggal Ika.
Akan tetapi, istilah
"Empat Pilar Kebangsaan" ini
menurut kaelan (2012: 249-252) mengundang; 1) linguistic mistake (kesalahan
linguistik) atau dapat pula dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan
tersebut tidak mengacu pada realitas empiris sebagaimana terkandung dalam
ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu pengertian atau ide, 'berbangsa
dan bernegara' itu dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3)
kesalahan kategori (category mistake), karena secara epistimologis kategori
pengetahuan pancasil, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama.
Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas atau hakikat pengetahuannya, wujud
pengetahuan, kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai
aktivitas untuk mensosialisasikan kembali pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa: 1) Penempatan Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembentukan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia keempat yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan
Indonesia, kerakyatan yang dipipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2) Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus
dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan
Perundang-Undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila.
Hal tersebut berkorelasi
bahwa Undang-Undang ini penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup. Pancasila dalam
kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh
seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali sehingga cukup
banyak lembaga pemerintah di pusat yang melakukan kegiatan pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila.
Salah satu kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat melestarikan
Pancasila di kalangan mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan
Tinggi wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.
Makna penting dari kajian
historis Pancasila ini ialah untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus secara imperatif kategoris
mengahayati da melaksanakan Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai
Pandangan Hudup Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam
pasal-pasal UUD 1945.
0 komentar:
Posting Komentar