Subscribe:

Pages

Diary kecil Ega

Minggu, 11 Oktober 2015

Pancasila Dalam Kajian Sejarah



TUGAS KELOMPOK 2 PANCASILA
PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA
Bagian 2





 Disusun Oleh:

Ega Arsita Sari         D500150087


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
C. Pancasila Era Orde Lama
            Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi “anjuran” Presiden/ Pemerintah untuk “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui “kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artnya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan siding konstituante (Anshari, 1981: 99).
           
Majelis (baca: konstituante) ini menemui jalan buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui oleh cabinet tanggal 3 Juli 1959, yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:
  1. Pembubaran Konstituante
  2. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku
  3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Sosialisai terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi Prelude penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan “idiologi Negara” yang tampil hegemonik. Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno member tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto politik “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).Belakangan, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali, 2009: 30). Manifesto politik Republik Indonesia tersebut merupakan hasil perumusan suatu  panitia yang dipimpin oleh D.N Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September  1959 sebagai .haluan Negara (Ismaun, 1978:105).
Oleh karena itu, mereka yang bersebrangan pahammemilih taktik “gerilya” didalam kekuasan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan politik. Tidak hanya PKI, mereka yang anti komunisme pun sama (Ali, 2009: 33). Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai Justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki persatuan diantara beragam golongan dan idiologi tersebut komunis, dibawah satu paying besar, bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), Sementara golongan antikomunis mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni” dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009:34).
Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu, maka Soekarno pun di lengserkan sebagai Presiden Indonesia melalui siding MPRS.
D. Pancasila Era Orde Baru
            Setelah lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jendral Soeharto yang memegang kendali terhadap negri ini.dengn berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekat kita mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah Negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (setiardja, 1994: 5).
Jadi, Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar Negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahan jika ad pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010: 42).
Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar Negara, yaitu:
Satu    : Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Dua     : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga     : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam                                                            permusyawaratan/ perwakilan
Lima    : Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968.
Pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor II/MPR/1978 tentang pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu pasalnya tepatnya pasal 4 menjelaskan,
“Pedoman Penghayatan dan  Pengalaman pancasila merupakan penuntundan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga Negara Indonesia, setiap penyelenggaraan Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Adapun nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan  Pengalaman Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut meliputi 36 butir, yaitu:
  1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
a.    Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
b.    Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup.
c.    Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.
d.    Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
  1. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
a.    Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
b.    Saling mencintai sesama manusia
c.    Mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepo seliro.
d.    Tidak semena-mena terhadap orang lain
e.    Menjungjung tinggi nilai kemanusiaan
f.     Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan
g.    Berani membela kebenaran dan keadilan.
h.    Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, Karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
  1. Sila Persatuan Indonesia
a.    Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara diatas kepentingan pribadi dan golongan.
b.    Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara
c.    Cinta tanah air dan bangsa
d.    Bangsa sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia
e.    Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
  1. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
a.    Mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat.
b.    Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c.    Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
d.    Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
e.    Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan keputusan hasil musyawarah.
f.     Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
g.    Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
  1. Sila Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
a.    Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotong-royongan.
b.    Bersikap adil.
c.    Menjaga antara hak dan kewajiban.
d.    Menghormati hak-hak orang lain.
e.    Suka member pertolongan kepada orang lain.
f.     Menjauhi sikap pemerasan kepada orang lain.
g.    Tidak bersikap boros.
h.    Tidak bergaya hidup mewah.
i.      Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umun.
j.      Suka berkerja keras.
k.    Menghargai hasil karya orang lain.
l.      Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan social.
            Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun 1994 disarikan/ dijabarkan kembali oleh BP-7 P4. Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: sila Kesatu, Menjadi 7 (tujuh) butir; sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh)  butir; sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.
Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan dinegara Indonesia diatur dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu Negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUS 1945” (Ali, 2009: 37).
Ketika itu, sebagian golongan islam menolak reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun warga Negara keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya, pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010 43-44).
Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin senter mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 45).
E. Pancasila Era Reformasi
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar moral etik bagi negara dan aparat pelaksana negara, dalam kenyataannya digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbulah berbagai gerakan masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai gerakan moral politik yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang politik, ekonomi, dan hukum (Kaelan, 2010:245).
Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap Pancasila. Dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu – satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi tahu mana yang benar mana yang salah. Nilai – nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50).
Dengan seolah – olah “dikesampingkannya” pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan sosial, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, akibatnya teejadi konflik – konflik horisontal dan vertikal secara masif dan pada akhirnya melemahlan sendi – sendi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara Indonesia . Dalam bidang budaya, kesadaran masyarakat atas keluhuran budaya bangsa Indonesia mulai luntur, pada akhirnya terjadi disorientasi kepribadian bangsa yang diikuti dengan rusaknya moral generasi muda. Dalam bidang ekonomi, terjadi ketimpangan – ketimpangan di berbagai sektor diperparah lagi dengan cengkeraman modal asing dalam perekonomian Indonesia. Dalam bidang politik, terjadi disorientasi politik kebangsaan, seluruh aktivitas politik hanya sekedar merupakan libido dominandi atas hasrat untuk berkuasa, bukannya sebagai suati aktivitas memperjuangkan kepentingan nasional yang pada akhirnya menimbulkan carut marut kehidupan bernegara seperti dewasa ini (Hidayat, 2012).
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi dasar Negara Republik Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (MD, 2011). Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia akan menghadapi Amandemen Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan,


“Sumber hukum dasar nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh Undang – Undang Dasar 1945”.
Semakin memundurnya pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara membuat khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian tampak signifikan karena proses amandemen  UUD 1945 saat itu sempat memunculkan gagasan menghidupkan kembali Piagam Jakarta (Ali, 2009. 51). Selain keadaan di atas, juga terjadi terorisme yang mengatasnamakan agama. Tidak lama kemudian muncul segala Perda Syariah disejumlah daerah. Rangkaian gejala tersebut seakan melengkapi kegelisahan publik selama revormasi yang mempertanyakan arah gerakan revormasi dan demokratisasi. Seruan Azyumardi Azra direspon sejumlah kalangan. Diskursus tentang pancasila kembali menghangat dan meluas usai Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006 (Ali, 2009: 52). Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga membentuk Tim Pengkajian Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan telah menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di Universitas Gajah Mada, Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di Universitas Pendidikan Pancasila, dan Kongres Pancasila di Universitas Udayana. Lebih dari itu MPR-RI melakukan kegiatan sosialisasi nilai-nilai pancasila yang dikenal dengan sebutan "Empat Pilar Kebangsaan", yang terdiri dari: Pancasila, Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika.
Akan tetapi, istilah "Empat Pilar Kebangsaan"  ini menurut kaelan (2012: 249-252) mengundang; 1) linguistic mistake (kesalahan linguistik) atau dapat pula dikatakan kesalahan terminologi; 2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada realitas empiris sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan mengacu pada suatu pengertian atau ide, 'berbangsa dan bernegara' itu dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar); 3) kesalahan kategori (category mistake), karena secara epistimologis kategori pengetahuan pancasil, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama. Ketidaksamaan itu berkaitan dengan realitas atau hakikat pengetahuannya, wujud pengetahuan, kebenaran pengetahuannya serta koherensi pengetahuannya.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk mensosialisasikan kembali pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara tegas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan dalam penjelasan Pasal 2 bahwa: 1) Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembentukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 2) Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Hal tersebut berkorelasi bahwa Undang-Undang ini penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai dasar negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup. Pancasila dalam kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh seluruh komponen bangsa. Kesadaran ini mulai tumbuh kembali sehingga cukup banyak lembaga pemerintah di pusat yang melakukan kegiatan  pengkajian sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu kebijakan nasional yang sejalan dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan mahasiswa adalah Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah agama, Pancasila, Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia.

Makna penting dari kajian historis Pancasila ini ialah untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus secara imperatif kategoris mengahayati da melaksanakan Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai Pandangan Hudup Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal UUD 1945.

0 komentar:

Posting Komentar